Gua Janci Campalagi

Cempalagi adalah gunung batu yang berada di tepian perairan Teluk Bone.
Di lokasi tersebut terdapat beberapa goa yang dikenal sebagai tempat persinggahan Arung Palakka, sebelum berangkat ke Buton dan kemudian ke Pulau Jawa.

Andaikan Petta Malampe e Gemme’na tak bersembunyi di Goa Cempalagi, apa yang bisa kita cerita untuk generasi sekarang dan akan datang.

Bersembunyi di Goa, bukan berarti takut. Bukan menghindari peperangan. Pun bukan menghianati rakyat. Tapi itu suatu bentuk strategi untuk menang.

Jejak Raja Bone ke-15 Arung Palakka di Cempalagi, Desa Mallari, Kecamatan Awangpone sebagai bukti sejarah. Bukti itu masih bisa kita lihat, walau pun mungkin sudah ada cerita yang sudah berubah.

Arung Palakka singgah di Cempalagi setelah diam-diam meninggalkan istana Gowa. Meninggalkan Kerajaan Gowa sebagai bentuk protes. Tak ingin rakyat Bone berada dalam taklukan Gowa.

Cempalagi, yang kini menjadi kawasan wisata tersebut masih didapati bekas tempat duduk dan sandaran raja Arung Palakka.

Di depan mulut gua, terdapat assingkerukeng, pohon yang kini membatu, berbentuk simpul. Simpul Arung Palakka ini menjadi nazar Puang ta tak kan pulang sebelum menang perang.

Dari gua itu, Arung Palakka turun ke pesisir batu Cempalagi. Dan disitulah Petta Malampee Gemme’na mengentalkan kakinya (attudukengnge).

Ada amarah berkecamuk. Amarah itu untuk kemanusiaan. Puang ta Cinta kepada rakyatnya, hingga harus melepaskan belenggu perbudakan. Memanusiakan manusia. Masih sulit mendapatkan literasi tentang perjuangan Arung Palakka saat berada di Cempalagi. Sangat sulit.

Untuk merangkai fakta histori itu, saya pun harus mengontak beberapa sahabat untuk mendapatkan data tentang hal tersebut.

Kita hanya disuguhi cerita tentang keberadaan Arung Palakka di kawasan yang cukup mempesona ini. Cerita tentang Puang ta didalam goa yang cukup dalam tersebut.

Kawasan itu merupakan area pertempuran habis-habisan para Bissu (biksu) menghadang pasukan Gowa.

Dalam pertempuran tersebut, ratusan Bissu meninggal dunia. Walau memakan korban jiwa yang cukup banyak, namun pasukan Gowa tidak dapat melewati pasukan pengawal. Pasukan Goa tidak tembus ke tempat persembunyian Arung Palakka hingga lolos ke Buton.

Menjadi sebuah kenangan, ketika kita berbuat sesuatu untuk orang banyak. Menjadi berkah, dan hanya Tuhan yang tahu balasannya.

Seperti Arung Palakka, membebaskan rakyat Bone dari penindasan adalah sesuatu yang baik. Perjuangan kemanusiaan. Perjuangan membebaskan dari perbudakan.

Perlawanan ini menjadi kenangan. Menjadi jejak sejarah, bahwa Arung Palakka adalah Pahlawan Kemanusiaan.

Berbuat baik. Itu selalu menjadi penegasan ajaran keIlahian. Islam sebagai agama, menjadi pedoman, petunjuk dalam kehidupan. Petunjuk itulah mengantar kita selalu berbuat baik dan menghindari keburukan.

Dorongan itulah selalu menjadi titik awal seseorang berbuat baik. seperti sejumlah sahabat membangun Mushola di depan mulut Goa Cempalagi. Goa yang didalamnya terdapat sumur, yang mengeluarkan debit air yang cukup lumayan.

Warga setempat menamakannya Sumur Jodoh. Penamaan yang cukup menggelitik. Tentu membuat hasrat ingin mengetahui lebih jauh.

Penamaannya terbilang seksi. Bisa menggelitik pikiran. Entah siapa yang memulai nama itu. Namun dibalik cerita, ada fakta bahwa sejumlah pengunjung mengakhiri masa lajangnya usai berkunjung ditempat itu.

Bisa saja penamaan itu benar, karena dulu ketika musim kering, banyak warga (entah tua-muda, laki-perempuan) mendatangi sumur tersebut mengambil air. Tentu mereka saling berinteraksi. Saling kenal dan berjodoh. Merajut Cinta di Cempalagi.