Anyaman Anemi

Bagi warga Desa Wollangi, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, anyaman bosarak bukan hanya warisan para leluhur. Tapi, kerajinan tangan itu juga dapat menjadi lahan usaha yang bisa dikembangkan untuk menambah penghasilan.

Dahulu, anyaman bosarak digunakan para bangsawan Bone sebagai penutup makanan atau tutup saji. Seiring berjalannya waktu, kerajinan tangan para perempuan di Desa Wollang itu kini digunakan semua kalangan. Persisnya, digunakan saat mengelar pesta perkawinan atau ritual tradisional. Selain sebagai alat penutup makanan dari lalat dan debu, anyaman bosarak juga menjadi aksesori meja makan.

Bahan dasar untuk membuat anyaman ini terbilang mudah didapat, yakni pelepah sagu. Setelah pelepah sagu dikeringkan, para perajin membelah dan merakitnya menjadi bosarak. Agar lebih artistik, anyaman dipadukan dengan pita bali.

Subaedah, perajin anyaman bosarak, menuturkan, mendapat keterampilan menganyam dari orang tuanya. Dan dia mulai menggerakkan perajin-perajin lain di Desa Wollangi pada 1980-an.

Para perajin bosarak yang mayoritas perempuan ini biasanya kebanjiran pesanan dari berbagai wilayah di Sulsel dan daerah lain saat mendekati Lebaran atau musim kawin. Mendekati Hari Raya Idul Fitri kali ini, misalnya, Subaedah mendapat pesanan sekitar 50 bosarak per hari. Dari harga jual Rp 30 ribu per bosarak, perajin mendapat upah Rp 10 ribu.