Meseum Arajange
Kabupaten Bone yang dikenal sebagai kota beradat menyimpan banyak keunikan dan kebudayaan tersendiri. Dalam rangka Hari Jadi Bone, salah satu upacara adat yang setiap tahunnya dilaksanakan adalah pembersihan pusaka peninggalan Kerajaan Bone (Arajang) yang dianggap sakral karena memiliki nilai magis dan pernah dipergunakan oleh raja atau pembesar Kerajaan yang disimpan khusus dan sangat dihormati.
Pusaka-pusaka ini disimpan sangat baik dalam MUSEUM ARAJANG yang hanya sekali setahun bisa kembali dibuka tepatnya pada rangkaian Hari Jadi Bone. Masyarakat dan para turis dapat melihatnya kapan saja di Museum Lapawawoi, tentunya di museum tersebut yang hadir hanya pusaka replika.
Pusaka-pusaka ini dirawat dan dijaga karena beberapa dari pustaka itu berlapiskan emas murni. Kegiatan pembersihan pusaka dinamakan Mattompang Arajang atau Mappepaccing Arajang atau dalam istilah Pangedereng Rilangiri dan secara khusus disebut Massosoro Arajang.
Ritualnya dimulai dari meminta izin kepada pimpinan raja yang dalam hal ini Bapak Bupati Bone. Lalu menuju ke lokasi pengumpulan air yang diistilahkan Mallekke Toja dari beberapa yang telah dipilih oleh para pemuka adat kerajaan yang disebut Bissu. Kegiatan ini dilakukan di empat mata air yaitu Bubung Bissu, Bubung Parani, Bubung Tello’, dan Bubung Laccokkong. Keempat mata air ini dikumpulkan sebagai bahan pembersihan pusaka nantinya.
Setelah kembali dari pengambilan air tersebut, para bissu membawanya tempat Mattompang lokasinya masih di MUSEUM ARAJANG. Disana telah dijemput raja beserta pembesar kerajaan lalu dimulailah Ritual Mattompang yang dipimpin oleh bissu.
Pemangku adat kemudian mempersembahkan daun sirih yang diletakkan dalam sebuah cawan kepada Bapak Bupati Bone sebagai laporan bahwa upacara adat akan segera dimulai.
Selanjutnya diiringi oleh para Bissu ke tempat Arajang. Kegiatan ini disebut Mappaota.
Lalu Puang Matoa mempersembahkan sekapur sirih (Ota) di depan Arajang sebagai ungkapan penghormatan kepada hal-hal gaib sembari memohon izin untuk membersihkan Arajang. Proses ini diawali dengan iringan seperangkat bunyi-bunyian dari tempatnya dan diiringi dengan tarian yang disebut “Sere Alusu” oleh para Bissu.
Secara religius para Bissulah yang menggerakkan dan memindahkan Arajang atas persetujuan Raja, karena mereka dianggap mengetahui serta mampu berhubungan dengan gaib yang menyertai Arajang tersebut. Kemudian Arajang diserahkan kepada tokoh adat, kemudian dibawa ke hadapan Bapak Bupati untuk dikeluarkan dari sarungnya dan diletakkan kembali tanpa sarung.
Maka dimulailah prosesi Mattompang dimana tokoh adat membawa Arajang kepada Pattompang (orang yang melakukan Mattompang) untuk disucikan atau ditompang yang dinyanyikan, dibuai, diayun dengan lantunan lagu Memmang yang merupakan nyanyian bissu untuk para raja sambil membunyikan alat musik yang diiringi dengan Genrang Bali SumangE sampai proses mattompang selesai.
Setelah dianggap pembersihan ini lengkap, pusaka tersebut dikembalikan ke tempatnya masing-masing. Biasanya dipimpin oleh raja dan didampingi oleh pemuka kerajaan. Pusaka-pusaka yang dibersihkan tersebut diantaranya adalah:
1. Sembangeng Pulaweng (Salempang Emas)
Pusaka ini merupakan rantai besar dari emas 63 potong dengan panjang 1,77 meter dan berat 5 kg dengan dua medali emas berbahasa Belanda. Pusaka ini merupakan pusaka Kerajaan Bone yang ada pada masa Raja Bone ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka. Pusaka ini dipersembahkan kepada pemerintah Kerajaan Bone sebagai penghargaan atas keberhasilan Kerajaan Bone dalam membangun kerja sama Raja Pariaman. Pusaka ini kemudian menjadi perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan pengangkatan raja-raja.
2. La Teya Riduni Kalewang
Sebuah kalewang yang disebut Alameng serta hulunya berlapis emas dan dihiasi intan permata. Pusaka ini merupakan pusaka Raja Bone ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka. Konon kabarnya, pusaka selalu dikebumikan bersama rajanya, namun setiap kali pusaka itu dikebumikan, pusaka itu memunculkan diri diatas makam yang disinari cahaya. Atas kejadian itu, maka pusaka ini tidak dikebumikan. Pusaka ini kemudian disimpan dan mendapatkan pemeliharaan serta digunakan sebagai perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan pengangkatan raja-raja Bone.
3. La Makkawa Keris
Sebuah kalewang yang disebut Alameng serta hulunya berlapis emas dan dihiasi intan permata. Pusaka ini merupakan pusaka Raja Bone ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka. Pada zamannya, pusaka ini dipergunakan oleh Arung Palakka dari setiap pertempuran melawan musuh kerajaan. Pusaka ini memiliki sifat ketajaman dan berbisa sehingga sekali tergores atau terluka, orang yang cedera tersebut akan meninggal dengan cepat yang dalam Bahasa Bugis “Makkawa”.
4. La Salaga
La Salaga merupakan sebuah tombak yang pegangannya dekat mata tombak dihiasi emas. Tombak ini merupakan simbol Kerajaan Bone.
5. Alamang Tata Rappeng
Merupakan senjata Hadat Tujuh. Pusaka kerajaan ini adalah kalewang yang hulu serta serta sarungnya berlapiskan emas dan merupakan kelengkapan pakaian kebesaran Anggota Ade’ Pitue.
6. Teddung Pulaweng (Payung Emas)
Adalah pusaka kerajaan berukuran besar telah ada sejak raja ke-15 Arung Palakka. Pusaka ini juga merupakan penghargaan dari Kerajaan Pariaman. Setelah pemerintahn Raja Bone yang ke-15, maka pusaka ini juga salah satu perlengkapan resmi pengangkatan dan pelantikan raja-raja hingga pada masa raja bone yang terakhir.
Setelah prosesi pembersihan selesai, Arajang dihadapkan kembali kepada Bapak Bupati Bone untuk disarungkan. Kemudian tokoh adat dan para bissu menuju ke tempat Arajang untuk menyimpan benda-benda pusaka tersebut ke tempat semula.
Setelah kegiatan penyimpanan pusaka tersebut, semua kalangan meninggalkan tempat dan museum ini akan segera ditutup. Selanjutnya kegiatan ini akan dilaksanakan kembali sebagai ritual ceremony di depan umum dan para tamu kehormatan serta para tamu kerajaan saat puncak Hari Jadi Bone.